JARAR SIAHAAN * JURNALISME

Wartawan latteung dan uji kompetensi wartawan

Profesionalisme dan independensi dan juga kemunafikan pers Indonesia. Pengalamanku menjadi wartawan kepala batu sejak 1994.

Jarar Siahaan
20 min readApr 17, 2024
Halaman berita dalam salah satu edisi tabloid Batak Raya, media cetak yang pernah saya sunting, dan perkakas kerja saya: kamera, bloknot, alat perekam, dan kartu wartawan utama dari Dewan Pers. FOTO: JARAR SIAHAAN

Sertifikat kompetensi dan kartu wartawan dari Dewan Pers hanya layak bagi jurnalis profesional dan independen: yang menguasai teknik meliput berita dan bersetia mematuhi tata susila jurnalisme. Khalayak bisa melaporkan reporter, redaktur, atau pemimpin redaksi yang menerima suap atau terlibat politik. Kebanyakan wartawan abal-abal bekerja pada media siber.

Sarkasme “wartawan latteung” dan “sarjana latteung” pertama kali saya dengar antara tahun 1994 dan 1997 dari dua mantan wartawan Sinar Indonesia Baru (SIB), salah satunya Leonardo T. Simanjuntak, di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara. Kala itu saya masih hijau sebagai reporter pemula koran harian Medan Pos, sedangkan Leonardo sudah kawakan. Dua puluh tahun dia menjadi reporter Medan Pos di Tarutung, dan sebelumnya menulis untuk harian sore Sinar Harapan, Jakarta, serta surat kabar Analisa dan SIB terbitan Medan.

Dari Leonardo dan seorang lainnya bekas reporter SIB yang namanya tidak saya ingat itu saya mendengar cerita bahwa Gerhard Mulia Panggabean alias G.M., mendiang pendiri dan pemimpin redaksi (pemred) SIB, yang merintis karier jurnalistiknya dari posisi terbawah sebagai reporter koran Waspada, sangat keras mendidik wartawan SIB. Jikalau reporter tidak berhasil meliput berita penting yang ditugaskan redaksi, G.M. akan menyemprot si reporter: “Wartawan latteung!” Manakala wartawannya yang bertitel sarjana tidak cekatan menulis berita dengan bahasa menarik dan narasi deskriptif, ia pun mencerca: “Sarjana latteung!”

Leonardo, yang saya temui tahun 2018 silam di rumahnya setelah bertahun-tahun kami tidak bersemuka, mengatakan, “Zaman dulu wartawan itu profesi terhormat, tinggi etikanya, makanya para pejabat senang didatangi wartawan. Tapi sekarang, siapa pun bisa dengan mudahnya mendapat kartu pers dari redaksi.” Bahkan, kata saya, ada orang yang sama sekali takpaham teknik tulis-menulis, buta akan ilmu jurnalisme, nekat-nekat membikin media siber dan ujug-ujug menjadi pemimpin redaksi latteung.

Fenomena wartawan latteung, yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan wartawan abal-abal, ini sudah sering disoroti Dewan Pers. Contohnya, dalam berita “Banyak Media, Wartawan Abal-abal pun Menjamur” pada harian Suara Pembaruan, 23 Maret 2018, Ketua Dewan Pers saat itu, Yosep Adi Prasetyo, menyebut sejumlah media yang namanya menakutkan dan isinya banyak melanggar kode etik jurnalistik: KPK, BNN, ICW, Tipikor, dan Buser. “Kami menemukan ada media cetak namanya KPK. Bukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi Koran Pemberita Korupsi. […] Mereka menakut-nakuti para kepala desa, kepala sekolah, dengan tuduhan selalu tentang anggaran. […] Kami tangani. Jelas ini pelanggaran,” katanya.

“Wartawan abal-abal ini ada yang dulunya kernet bus, tukang tambal ban. Karena sekarang sangat mudah jadi wartawan, tinggal membuat kartu identitas maka jadilah wartawan.”

Sebelumnya, tahun 2016, Ketua Dewan Pers menyatakan kepada majalah Tempo bahwa wartawan abal-abal “paling banyak muncul di daerah yang tingkat korupsinya tinggi. […] Pengaduan yang paling banyak itu dari Sumatra Utara, Sumatra Selatan, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.” Untuk memberantas media abal-abal itu, katanya, Dewan Pers “berkoordinasi dengan polisi, dan nanti Dewan Pers bisa menunjuk seorang ahli. Lalu di pengadilan bisa dijelaskan. Ada beberapa wartawan yang sudah dijerat secara hukum.”

Penegasan Dewan Pers setali tiga uang dengan yang terjadi di Kabupaten Toba Samosir. Di daerah ini juga tidak sedikit wartawan abal-abal, dan bahkan ada reporter gadungan yang mencetak kartu persnya sendiri di lapak tukang sablon.

Dalam peliputan jumpa pers bupati, mereka berlagak wartawan “CNN”: cuma nanya-nanya supaya tertampak seakan-akan profesional, atau cuma nengok-nengok asalkan makan enak. Kalau laku lancungnya taklaku lagi di Balige, ibu kota kabupaten, gerombolan jurnalis latteung itu pun menyasar pejabat di desa-desa yang pada umumnya tidak tahu membedakan wartawan sungguhan dan wartawan gadungan. Beberapa wartawan kaleng-kaleng itu sudah pernah ditangkap polisi karena memeras kepala sekolah hingga di luar daerah.

Eksistensi pasukan bodrex ini ada kaitannya dengan amplop yang sering dibagikan Bagian Humas Pimpinan dan Protokol serta Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Toba Samosir kepada wartawan yang menghadiri jumpa pers, dan juga uang “THR wartawan” yang diberikan beberapa dinas daerah dalam menyongsong tahun baru. Makanya, jangan heran, jumlah wartawan yang punya kartu pers atau surat tugas di Kabupaten Toba Samosir pernah mencapai dua ratus orang, padahal yang pacak menulis berita paling-paling hanya tiga puluhan orang.

Tingkah langkah salah satu wartawan abal-abal itu pernah diceritakan Rikardo Simamora, pegawai Dinas Kominfo Kabupaten Toba Samosir. Begini, si wartawan punya jabatan mentereng yang lebih tinggi daripada redaktur di sebuah media siber, padahal ia tidak menguasai kaidah-kaidah jurnalisme, bahkan tidak memahami teknik dasar jurnalistik seperti menata nilai berita dan unsur berita dalam struktur piramida terbalik dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Meskipun begitu, ia ingin terciprat uang Rp100.000 untuk honorarium setiap beritanya yang terbit di situs web Info Publik milik Kementerian Kominfo. (Beberapa reporter Balige lebih rajin menulis untuk Info Publik ketimbang medianya sendiri karena bisa beroleh honor Rp3.000.000 sampai Rp4.000.000 per bulan. Dalam dua bulan pada tahun 2018, saya pernah menulis hanya delapan berita singkat untuk Info Publik dan mendapat Rp800.000. Berita di Info Publik pendek-pendek, biasanya hanya sekitar 250 kata, bahkan kurang. Sebagai perbandingan, semua kata dalam hanya satu paragraf saya ini berjumlah 329.) Dengan modal jempol dan ponsel ia pun menjiplak berita dari situs web lain, kemudian mengirimnya lewat surel kepada Rikardo, yang bertugas menyaring dan menyunting naskah berita sebelum dilantaskan kepada redaksi Info Publik di Jakarta. Rikardo, yang punya pengalaman kerja sebagai reporter koran lokal dalam grup Jawa Pos sebelum menjadi aparatur sipil negara, tentu saja membuang karya tulis “wartawan senior” media siber itu, karena Rikardo paham bahwa menjiplak merupakan pelanggaran berat terhadap kode etik jurnalistik. Setelah berulang kali ketahuan membajak berita dari media lain, si wartawan asli-tapi-palsu ditegur oleh Rikardo. Akan tetapi, bukannya merasa malu atau bertobat, malah ia makin menjadi-jadi. Suatu hari ia kembali memplagiat artikel, kali ini sebuah advertorial dari detik.com, lalu memasukkan nama seorang pejabat Kabupaten Toba Samosir seolah-olah menjadi narasumbernya. “Demikian dikatakan pejabat X di Balige kepada wartawan media XYZ ini,” kira-kira begitu. Ternyata dalam media siber “ XYZ” itu pun si wartawan sudah pernah beberapa kali menerbitkan berita jiplakan, hasil salin tempel dari internet, dan berita yang sama juga dikirimnya kepada Info Publik. “Tidak apa-apa itu,” katanya kepada Rikardo Simamora. “Bah, itu pidana, melanggar Undang-Undang Hak Cipta,” kata Rikardo.

Demikianlah contoh kejahatan jurnalistik berbasis kedunguan digital. Dobel pula. Pertama, plagiat. Kedua, wawancara fiktif. Masih untunglah tertangkap basah. Kalau tidak, kalau berita-berita rekaan itu telanjur diterbitkan Info Publik, Kementerian Kominfo akan dicap sebagai penyebar hoaks, dan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir akan dituding menyelewengkan uang APBD dengan membiayai wartawan kaleng-kaleng untuk menulis berita bohong.

Berhubung saat ini Kementerian Kominfo beserta Dewan Pers dan Polri tengah berupaya menyusutkan persebaran hoaks dan berita lutut, terlebih-lebih yang tersiar lewat ribuan pers abal-abal di internet, sudah seyogianya pejabat publik di daerah berperan serta dalam ikhtiar tersebut. Di pihak lain, hendaklah pula wartawan kembali ke dalam rel tugas pokok dan fungsinya sebagai alat kontrol sosial, yaitu pengkritik dan pengawas.

Jangan keasyikan memuja-muja penguasa, memuji-muji bupati. Itu tugas humas, bukan tugas pers. Apabila seorang wartawan hanya mampu meliput pelantikan pejabat, kunjungan kerja bupati, atau upacara di tanah lapang, sebaiknya dia mencari pekerjaan lain karena tidak punya potensi selaku wartawan. Jurnalis yang benar tidak mengabdikan diri menjadi penyambung lidah pemerintah.

Menurut pendapat Davit Purba dari Analisa dan Eduwart Sinaga dari SIB, keduanya reporter Balige yang telah memegang sertifikat kompetensi wartawan dari Dewan Pers, para pejabat di Kabupaten Toba Samosir mesti tegas menolak wartawan abal-abal. “Coba disetop itu amplop temu pers biar kita lihat apakah wartawan [abal-abal] masih ramai datang meliput,” kata Davit. “Honor berita Info Publik pun dihapus saja.”

Tetty Naibaho, reporter harian Top Metro di Pangururan, Kabupaten Samosir, juga mengkritik hal yang sama. “Uang kliping berita di Kominfo Samosir tidak mendidik. Berita copy paste wartawan abal-abal pun dibayar,” katanya.

Menurut dia, ada reporter latteung yang sering menyalin berita-berita Samosir dari internet untuk diterbitkan dalam korannya atau situs webnya. Ada juga yang membawa koran-koran lain ke warnet, lalu meminta karyawan warnet menuliskan kembali alias meniru isi koran itu. Setiap tiga bulan dia mengumpulkan dan menyerahkan kliping berita “karya tulisnya” kepada Dinas Kominfo. Harganya lumayan, Rp100.000 per satu kliping berita koran, dan Rp60.000 untuk media siber.

Menurut Tetty, kalau Pemerintah Kabupaten Samosir tidak menghendaki bertambahnya jurnalis gadungan, dana kliping harus dihentikan. Dia menyarankan Dinas Kominfo mengadakan lomba karya jurnalistik saja, misalnya tiap empat bulan. “Gaji atau honor berita wartawan adalah tanggung jawab medianya, bukan urusan Kominfo,” kata wartawati yang sudah bersertifikat kompetensi ini.

Kritik atas malapraktik jurnalistik juga muncul dari aparatur pemerintah, misalnya dr. Tota Manurung di Kabupaten Toba Samosir. Dengan tulisan ringkas pada akun Facebook-nya, amtenar yang bertugas di puskesmas di Kecamatan Borbor itu berkali-kali mengecam oknum wartawan “pembela pemerintah” dan “pembela Bunda.” Menurut dia, ada reporter yang kerjanya hanya menulis kebaikan-kebaikan pemerintah karena sudah mendapat amplop atau proyek.

Banyak warganet, termasuk politikus dan wartawan, yang mengiakan sentilan si dokter. Namun, ada juga empat jurnalis yang palak sampai-sampai berunjuk rasa dengan raun-raun di Kota Balige sembari membeberkan sehelai spanduk: “Kami wartawan/ti yang bertugas di wilayah Kab. Toba Samosir merasa dilecehkan akibat cuitan Ketua Yayasan Soposurung (Yasop) Balige di medsos,” yang diakhiri dengan teks besar “dr. Tota Manurung.”

Sebagai tanggapan, Tota mengaku sudah mengenali “siapa wartawan profesional yang berani menulis kebenaran,” dan “siapa wartawan pemeras uang seratus ribu (sebab jadi pasien saya di penjara).”

Tsunami informasi digital tengah melanda Indonesia. Seturut data Dewan Pers, 29 Juli 2016, jumlah media massa membeludak hingga 46.000, yang terdiri atas media cetak (koran, majalah), media elektronik (televisi, radio), dan media siber (portal berita di internet). Rupa pers terbanyak ialah media siber, 43.500, tetapi dari jumlah itu hanya 0,05 persen yang dikelola secara profesional. Sebagian besar, lebih dari 99 persen, tergolong media siber abal-abal. Pada 7 Januari 2017, kompas.com juga merilis berita berjudul “Kemenkominfo Sebut Ada 43.000 Media Abal-abal”.

Media abal-abal sudah barang tentu dikerjakan oleh awak redaksi yang abal-abal pula. Memang mereka punya kartu pers, tetapi punya kartu pers yang diteken pemimpin redaksi tidak serta-merta berarti punya pengetahuan jurnalistik yang memadai. Kebanyakan reporter bisa dengan gampang mengantongi kartu pers dari pemred hanya karena ia rela membayar persekot koran dan memasarkannya, bukan karena terampil menulis berita.

Penguji dari PWI Pusat serta peuji wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama meriung berpotret pada uji kompetensi wartawan di Jakarta, 2018. Jarar F. Siahaan (terdepan, bercangkung), yang dinilai kompeten dalam semua mata uji, sudah mendapat sertifikat wartawan utama dari Dewan Pers. FOTO: EKO T. WIYONO

Tersebab hal itu, dan guna menyaring wartawan profesional agar tidak bercampur baur dengan yang abal-abal, Dewan Pers menyusun peraturan tentang sertifikasi keahlian wartawan.

Jurnalis yang lulus uji kompetensi wartawan (UKW) akan beroleh sertifikat dan kartu yang ditandatangani Ketua Dewan Pers. Namanya juga dimuat dalam situs web resmi Dewan Pers, dewanpers.or.id.

Kartu kompetensi wartawan terdiri atas tiga level: kartu wartawan muda (berwarna biru), kartu wartawan madya (berwarna putih perak), dan kartu wartawan utama (berwarna kuning emas). Selain berisi nama dan foto, kartu pers khusus ini juga bertanda hologram dan bernomor sertifikat yang memuat tanggal lahir pemiliknya, yang bisa dicek kebenarannya oleh siapa pun dengan melihat laman web dewanpers.or.id. Jadi, wartawan gadungan takkan bisa memalsunya tanpa ketahuan. Wartawan abal-abal takkan bisa memilikinya. Bahkan, saya sudah menyaksikan wartawan sungguhan pun belum tentu bisa meraihnya.

Dalam uji kompetensi yang saya ikuti di Jakarta, dari kuota 38 peserta ada enam orang yang tidak lulus. Mereka semua bekerja di media nasional. Salah satu yang taklulus redaktur televisi swasta, peserta uji jenjang wartawan utama.

Salah seorang penguji, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DKI Jaya, berkata kepada redaktur itu, “Tidak apa-apa, nanti tahun depan kamu coba lagi.” Kemudian saya berbasa-basi kepada si redaktur, “Mas kenal dekat, ya, dengan petinggi PWI.” Ia membalas, “Dia juga bosku di kantor. Dia itu pemredku.”

Takada kolusi dalam uji kompetensi wartawan. Penguji dan peuji tidak bisa berkongkalikong. Setidaknya begitu yang saya perhatikan dalam UKW PWI Pusat yang tim pengujinya, antara lain, Marah Sakti Siregar, mantan redaktur investigasi majalah Tempo pada zaman Orde Baru, yang disebut peserta UKW “pelit memberi nilai,” dan Hendry Chairudin Bangun, redaktur senior harian Kompas, anggota Dewan Pers. Menurut Hendry di situs pwi.or.id “ada juga pengurus PWI Pusat yang tidak lulus UKW.”

Dalam UKW, semua mata uji berdasarkan praktik, tidak teoretis. Tenggang waktu untuk mengerjakan setiap mata uji sangat singkat. Contohnya, hanya sekitar sepuluh menit bagi wartawan muda untuk menulis berita berdasarkan wawancara yang dia lakukan sebelumnya dengan narasumber tamu. Hasil penilaian tiap-tiap mata uji langsung disampaikan secara terbuka segera setelah diujikan. Sistem penilaian tidak mengenal belas kasihan. Kendatipun peserta berhasil memperoleh nilai tinggi, misalnya 85, dalam hampir semua mata uji, tetapi kalau dalam satu mata uji saja nilainya di bawah tujuh puluh, hasil akhirnya tetap “belum kompeten” alias tidak lulus. Lembaga penguji tidak bisa menambah-nambahi atau mengurangi nilai, karena Dewan Pers akan lebih dahulu mengecek lembar jawaban peserta uji sebelum menerbitkan sertifikatnya beberapa bulan kemudian.

Adapun lembaga penguji yang punya lisensi dari Dewan Pers, di antaranya PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Kompas, Tempo, serta Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Berikut saya petik tiga paragraf secara verbatim dari artikel “Pentingnya Sertifikasi Kompetensi Wartawan” yang terbit di situs Dewan Pers:

Pertama, meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Kedua, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan. Ketiga, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Kelima, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Keenam, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Sisi lain pentingnya UKW adalah semakin terdegradasinya wartawan di mata orang-orang, katakanlah kepala desa, kepala sekolah, pejabat operasional di tingkat kabupaten/kota. Hampir setiap hari mereka ini didatangi sampai diintimidasi dan diperas oleh orang yang mengaku wartawan, karena mereka membawa kartu pers atau surat penugasan. Mereka itu selalu datang dengan mengatakan untuk konfirmasi kasus penyelewengan, entah dalam tender, rencana pengadaan barang, atau pengerjaan proyek.

Satu kabupaten di Sumatra Utara memanfaatkan UKW untuk menyaring wartawan sungguhan yang mencari informasi untuk diberitakan dan wartawan yang hanya bertanya-tanya lalu mendapatkan amplop secara rutin. UKW dilakukan secara gratis, dari perkiraan biaya sekitar Rp1 juta [untuk satu wartawan], dengan catatan setelah semua wartawan yang bisa meliput di wilayah itu ikut UKW maka hanya yang lulus dan kompeten yang dilayani Humas. Ternyata hanya 60% yang berani ikut UKW. Yang lainnya takut karena sebenarnya tidak tahu membuat berita, dan menjadikan status wartawan untuk cari makan dengan berbagai cara.

Selama ini di Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Samosir belum pernah uji kompetensi wartawan diadakan. Di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Kabupaten Simalungun sudah pernah dilakukan untuk jenjang wartawan muda.

Terkait dengan UKW dan wartawan abal-abal ini pejabat Dinas Kominfo Kabupaten Toba Samosir, Jhonson Sirait, pernah meminta pendapat saya. “Jangan diladeni, tidak usah diterima bertamu,” saya berkata.

Kalau ada pejabat merasa terganggu karena ulah wartawan kaleng-kaleng, laporkan saja kepada polisi. Dewan Pers tidak akan membela wartawan semacam itu.

Kemudian Jhonson menyinggung UKW yang sudah saya ikuti. Saya ceritakan, dan ia tertarik. “Bagus ini kalau dilakukan di Tobasa supaya tersaring yang mana wartawan profesional,” ujarnya. “Kami aparat ini sebetulnya senang diliput atau dikonfirmasi oleh teman-teman pers, tapi beritanya harus sesuai kode etik, narasumbernya harus jelas.”

Ia mengatakan akan mengusulkan kepada atasannya agar tahun 2019 ini Pemerintah Kabupaten Toba Samosir membantu mendanai UKW, seperti yang telah dilakukan oleh banyak pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Untuk hal itu, saya menyarankan supaya Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berkirim surat meminta pendapat Dewan Pers.

Nantinya, manakala UKW tersebut benar-benar akan terwujud, saya juga akan membantu kawan sejawat. Secara cuma-cuma dalam satu hari penuh di Balige saya bersedia berbagi pengetahuan jurnalisme, ilmu tata bahasa Indonesia, serta kiat praktis mengikuti UKW kepada wartawan media cetak yang telah berpraktik sebagai reporter sekurang-kurangnya satu tahun, baik yang bertugas di Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, maupun Kota Madya Pematangsiantar.

Soal usia dan titel kesarjanaan peserta UKW, jangan khawatir. Kata sifat muda dalam frasa wartawan muda tidak ada kaitannya dengan umur seseorang. Di seluruh Indonesia banyak jurnalis berusia senja 50-an tahun, bahkan 60-an, yang memegang kartu wartawan muda dari Dewan Pers. Sebaliknya, ada juga yang masih bau kencur, usianya baru 26 tahun, sudah mengantongi kartu wartawan utama. Adapun ijazah perguruan tinggi, itu bukan merupakan persyaratan mengikuti UKW.

Yang terlarang ikut serta dalam UKW ialah wartawan yang merangkap pengurus partai politik, merangkap anggota atau calon anggota lembaga legislatif, merangkap aparatur pemerintah, merangkap pemborong, atau bekerja di media yang namanya atau logonya mirip dengan nama/logo lembaga negara atau badan publik.

Bagi reporter yang telah berpengalaman melakukan wawancara khusus dan menulis berita orisinal, bukan sekadar menyalin siaran pers dari humas pemerintah atau mengutip pidato pejabat, sesungguhnya tidak ada yang sulit dalam kesepuluh mata uji selama dua hari pelaksanaan uji kompetensi wartawan muda.

Dalam mata uji menulis berita singkat, contohnya, peserta wartawan muda bisa saja beroleh nilai batas lulus, yaitu tujuh puluh, walaupun tata bahasanya taksempurna. Yang penting keenam unsur beritanya lengkap, pilihan sudut pandangnya menarik, datanya akurat, makna kalimatnya tepat, narasinya mudah dimengerti, alurnya sederhana dalam struktur piramida terbalik, dan penyajiannya taat pada kode etik jurnalistik.

Namun, bagi wartawan madya, yang diuji menulis berita khas dan mengedit berita-berita lain; serta wartawan utama, yang diuji menulis editorial atau esai dan menyusun rancangan kerja liputan investigatif; semua kaidah bahasa Indonesia, seperti kohesi antarklausa, koherensi antarkalimat, penggunaan pungtuasi, dsb., wajib dikuasai secara paripurna. Tidak boleh ada cacatnya, karena mustahil seorang redaktur (wartawan madya) atau redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi (wartawan utama) menyunting berita reporter (wartawan muda) kalau dirinya sendiri tidak mahir dalam ilmu sintaksis.

Pernah ada wartawan yang belum berpengalaman sebagai editor atau redaktur nekat menjadi peuji UKW tingkat madya, seperti diberitakan batamtoday.com dua tahun silam, tetapi dia tidak berhasil. Dia dinilai belum kompeten sebagai wartawan madya karena takcakap menyusun kalimat dan menggunakan tanda baca. Hermansjah, Ketua PWI Sumatra Utara, yang menguji si wartawan, mengatakan redaktur harus teliti menyunting berita. Jika satu koma saja salah tulis, makna kalimat akan berbeda.

Jadi, peserta uji wartawan madya dan wartawan utama tidak bakal lulus kalau keliru mengeja kata, taktahu mengatak konstruksi kalimat majemuk, atau kelabakan mengoreksi kalimat taksa. Kalau dia lulus juga, si pengujinya perlu diuji kembali.

Bagi saya, ibarat jenjang gelar akademis, pemegang sertifikat kompetensi wartawan muda harus setara pengetahuannya dengan sarjana; wartawan madya mesti sebanding ilmunya dengan magister; dan wartawan utama harus sepadan daya pikirnya dengan doktor. Singkat kata, si dungu tidak pantas menjadi wartawan. Kalau takpercaya, coba tanyakan kepada filsuf Rocky Gerung.

Klaim saya itu bersesuaian dengan yang termaktub dalam peraturan Dewan Pers bahwa wartawan adalah “profesi khusus penghasil karya intelektual.” Perhatikan: karya intelektual. Fungsi tulisan wartawan bukan sekadar menginformasikan, melainkan juga mendidik, mengkritik, dan menghibur.

Penguji kompetensi pun menilai fungsi sosial wartawan tersebut. Bahkan, dalam peraturan perihal standar kompetensi, Dewan Pers mewajibkan wartawan “memiliki integritas, tegas dalam prinsip, dan kuat dalam nilai,” dan “beretika, memiliki tekad untuk berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi,” dan “melayani kepentingan publik,” dan “independen, mempertanyakan otoritas.”

Ternyata tugas wartawan itu mulia? Syarat mental menjadi wartawan itu berat? Ya, begitulah adanya.

Sebagai kaum cerdik cendekia, sejatinya wartawan menjalankan tugas kenabian: membidani sejarah, menyebarkan kebajikan, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, membongkar kejahatan, dan mencerahkan pikiran. Sesungguhnya jurnalisme adalah “jalan pedang”.

Memang misi tersebut tidak gampang ditunaikan. Karena itu, untuk mendukung darmabakti wartawan bagi kepentingan publik, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tertulis “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum,” dan siapa saja yang menghambat atau menghalangi pekerjaan wartawan “dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”

Bukan hanya itu, dalam Kode Etik Jurnalistik pun tercantum bahwa wartawan harus independen “memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.”

Pengusaha media tidak boleh mengintervensi wartawannya dalam bekerja. Itulah bedanya bisnis pers dengan bisnis lain pada umumnya. Jika ada reporter atau redaktur yang bangga menulis atau tidak menulis suatu berita karena “itu langsung perintah bos besar kepada redaksi,” dia masih perlu kembali belajar elemen jurnalisme tingkat dasar.

Wartawan harus bebas dan independen bukan hanya terhadap pemimpin politik dan pemuka agama, melainkan juga terhadap pemilik media itu sendiri, orang yang menggaji si wartawan. Namun, anehnya, banyak wartawan tidak bergaji sama sekali tetapi patuh pula disuruh-suruh oleh bos media.

“Melawan jenderal berani, tapi kepada majikannya takut,” kata Wina Armada Sukardi, mantan anggota Dewan Pers yang juga dikenal sebagai pakar hukum pers, dalam dialog TVRI bertahun-tahun silam.

Prinsip independensi itu pun saya pegang teguh sedari dulu. Sudah berkali-kali saya melawan majikan media demi mempertahankan idealisme jurnalistik, baik semasih menjadi reporter, redaktur, maupun setelah menjabat pemimpin redaksi sejak tahun 2010. Saya membangkang secara frontal, terang-terangan.

Contohnya, saya pernah menyuruh semua reporter saya mogok kerja selama seminggu, sedikit pun tidak meliput dan sedetik pun tidak masuk kantor, karena gaji mereka belum dibayar — saat itu gaji saya sendiri selaku pemred cum editor sudah dibayar — sehingga saya dipecat lewat SMS oleh pemilik sebuah tabloid. Kemudian si pemilik media, yang tidak pernah bekerja sebagai wartawan, nekat menjadi pemred merangkap editor. Setelah dia menangani beberapa edisi, tabloid itu pun mati karena beritanya hancur-hancuran, tidak menarik lagi, tak laku dijual.

Contoh lainnya, sepuluh tahun silam saya mengundurkan diri sebagai pewawancara gelar wicara politik di satu stasiun radio FM karena manajernya tiba-tiba melarang saya mengkritik pemerintah daerah setelah dia diundang bertamu ke rumah dinas bupati. Honor bulanan yang saya terima dari radio itu lumayan, karena hampir setiap malam saya mengudarakan gelar wicara. Selama satu tahun programa interaktif tersebut selalu ditunggu-tunggu khalayak pendengar. Namun, setelah saya hengkang, siaran favorit itu tidak berlanjut lagi.

Begitulah, saya lebih memilih berhenti dari jabatan puncak di media daripada harus mengerjakan jurnalisme tanpa independensi. Sebaliknya, lihatlah wartawan media-media besar di Jakarta sana, seperti yang bekerja di MetroTV dan tvOne, yang disebut atau menyebut dirinya jurnalis profesional, jurnalis independen.

Pada pemilu presiden lima tahun lalu mereka terang-terangan melanggar asas jurnalistik dengan menjadi media partisan, menjadi alat propaganda politik. Wartawan MetroTV tidak bosan saban hari memuji-muji calon presiden Jokowi dan memburuk-burukkan Prabowo. Kru redaksi tvOne hanya menyanjung-nyanjung Prabowo setinggi langit, bahkan menyiarkan berita bohong tentang kemenangannya, dan terus-menerus mencari-cari kejelekan Jokowi.

Walaupun Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia telah menyatakan kedua televisi itu dan sejumlah TV lain bersalah karena tidak berimbang dalam pemberitaan, para wartawannya tetap tidak berani menolak perintah tuannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip jurnalisme, dan bahkan mengulangi kesalahan yang sama pada pemilu 2019. Mereka takut dipecat, takut tidak punya gaji bulanan, takut kehilangan jabatan di redaksi.

Padahal, seperti ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan idealis dan pengajar ilmu jurnalisme di Amerika Serikat, dalam buku The Elements of Journalism (2001):

“Kewajiban pertama jurnalisme ialah menyampaikan kebenaran,” dan “loyalitas pertama jurnalisme ialah kepada masyarakat luas,” bukan kepada pemilik media, pemasang iklan, politikus, apalagi tikus-tikus kantor.

Meskipun tujuan sertifikasi wartawan itu baik, masih ada juga wartawan dan orang yang mengaku wartawan menentangnya. Di Jakarta mereka pernah mendemo kantor Dewan Pers. Mereka menulis opini di internet bahwa PWI, AJI, dan IJTI menjadikan UKW sebagai ajang pemerasan secara halus terhadap kaum wartawan, dan UKW bertentangan dengan kemerdekaan pers. Wartawan menjadi takbebas meliput di lapangan karena narasumber berita, khususnya kalangan pejabat, menolak diwawancarai wartawan yang tidak punya kartu kompetensi dari Dewan Pers.

Memang sudah ada sejumlah lembaga pemerintah yang membatasi peliputan di instansinya hanya untuk wartawan yang besertifikasi Dewan Pers. Contohnya, seperti dirilis kantor berita , 4 Agustus 2018, Wali Kota Jayapura mengatakan, “Saya akan tempel di lingkungan Pemkot Jayapura bahwa yang bisa meliput di Kota Jayapura adalah wartawan yang sudah ikut [lulus] UKW.” Situs Kementerian Kominfo juga menyerukan hal yang sama, seperti dalam berita berjudul “Pejabat Bisa Tolak Wartawan yang Belum Miliki Sertifikasi”.

Pada awalnya, ketika sertifikasi keahlian wartawan dimulai delapan tahun lalu, saya pun bersikap masa bodoh. Pikir saya, selembar sertifikat bukan penentu kompeten tidaknya saya mengerjakan jurnalisme. Toh saya sudah berkarya sejak 1994, dan publik bisa menilai ribuan berita yang saya tulis selama ini dalam pers cetak di Medan, Palembang, Jakarta, Pematangsiantar, Pangururan, dan Siborongborong apakah bermutu atau cuma picisan. Saya juga senantiasa merawat independensi: tak pernah masuk parpol atau LSM, tak pernah menjadi pemborong atau tim sukses calon bupati.

Saya menganggap sertifikasi hanyalah muslihat Pemerintah Indonesia melalui Dewan Pers untuk memasung kebebasan wartawan yang vokal, sama halnya dengan pemberlakuan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan organisasi tunggal PWI pada era Menteri Penerangan “hari-hari omong kosong” Harmoko di bawah diktator jenderal bintang lima “daripada Bapak Presiden” Soeharto.

Pada era Orde Baru itu saya pernah menulis esai dalam harian Medan Pos untuk mengkritik PWI yang ikut serta membelenggu kebebasan pers, yang kemudian ditanggapi pemimpin PWI Pusat, Sofyan Lubis dan Parni Hadi.

Tidak seperti sekarang, pada masa itu masyarakat Indonesia secara umum masih takut mengkritik polisi, tentara, bupati, DPRD, bahkan kepala desa, karena para aparatur di daerah adalah kepanjangan tangan Golongan Karya dan Soeharto. Rezim Orde Baru sungguh berkuasa mendikte dan menekan media massa lewat Departemen Penerangan, Dewan Pers, dan PWI. Akan tetapi, biarpun pers Indonesia dalam kondisi sonder kemerdekaan, saya tetap nekat menulis berita-berita yang masih dianggap sebagai tabu pada masa itu dalam surat kabar lokal.

Saya pernah memberitakan oknum sintua gereja yang memerkosa perempuan bersuami sepulang dari latihan kor Natal pada malam hari di semak di pinggir jalan suatu desa terpencil. Saya mewawancarai sintua itu dan memotretnya.

Saya pernah melansir berita tindak kriminal oknum anggota DPRD yang kemudian, lantaran berita itu, menyuruh gerombolan preman yang bersenjatakan golok menghabisi saya.

Dalam berita “Mesin Pembunuh Rakyat” saya pernah mengulas kekejaman aparat keamanan dalam menghadapi rakyat Tanah Batak yang bertahun-tahun turun ke jalan menolak perusahaan raksasa PT Inti Indorayon Utama.

Pernah pula saya mengecam pelaksanaan Kirab Remaja Nasional yang dipimpin langsung oleh Mbak Tutut, putri “daripada” Presiden Soeharto, di Balige.

Saya pernah membeberkan kecurangan Golongan Karya dalam pemilu, tabiat oknum polisi yang memeras pejudi dan pelanggar hukum, dan masih banyak lagi.

Intinya, mulai hari pertama saya berprofesi wartawan, saya mencintai pekerjaan ini dengan segenap hati. Saya senantiasa berikhtiar menunaikan jurnalisme dengan idealisme.

Saya sudah menjalankan tugas sebagai wartawan independen, pikir saya, maka sertifikasi tidak penting bagi saya.

Namun, pada tahun 2018, saya mulai berubah pendirian setelah membaca pelbagai pendapat tokoh pers, antara lain di harian Kompas, perihal perlunya sertifikasi wartawan. Saya menelepon beberapa kawan wartawan senior, baik pemred media maupun pengurus PWI dan AJI di Medan serta Jakarta, yang ternyata sudah mengikuti UKW. “Ikuti sajalah,” kata salah satu sejawat saya itu, “supaya nanti Dewan Pers benar-benar membantu kalau ada masalah delik pers, jangan sampai dikriminalisasi pakai KUHP.”

Yang dimaksud kawan saya ialah adanya nota kesepahaman antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ketua Dewan Pers tentang “koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan.”

Berdasarkan perjanjian kedua lembaga itu, kalau ada pengaduan dugaan delik pers, Polri tidak akan langsung mengenakan pasal hukum pidana. Polri akan lebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk minta pendapat apakah kasus tersebut merupakan tindak pidana atau pelanggaran kode etik jurnalistik. Apabila itu tergolong tindak pidana, Dewan Pers akan menyerahkannya kepada Polri untuk ditindaklanjuti. Namun, kalau itu pelanggaran norma jurnalisme, Dewan Pers-lah yang akan menjatuhkan sanksi kepada si wartawan atau media yang diadukan.

Akhirnya, walau terpaksa, tidak dengan ikhlas, saya pun bepergian ke Jakarta untuk mengikuti uji kompetensi wartawan, dan berhasil. Saya sudah menerima sertifikat kompetensi beserta kartu wartawan utama dari Dewan Pers.

Hingga medio 2019, di Kabupaten Toba Samosir sudah ada sembilan wartawan yang besertifikasi; enam belas di Kabupaten Tapanuli Utara; tujuh di Kabupaten Humbang Hasundutan; dan enam di Kabupaten Samosir.

Di seluruh Indonesia terdapat kira-kira seratus ribu wartawan, mayoritas wartawan media daring, tetapi hanya lima belas persen yang berkompetensi.

Tentang sertifikat UKW, ada kawan saya yang menganalogikannya seperti SIM, surat izin mengemudi: tidak punya SIM tidak berarti taktahu mengemudikan kendaraan bermotor. Pengemudi perlu punya SIM karena begitulah peraturan lalu lintas. Demikian juga halnya dengan wartawan yang belum punya kartu kompetensi dari Dewan Pers.

Saya mengenal sejumlah reporter di Tanah Batak yang belum mengikuti UKW tetapi selama ini aktif menulis berita, kritis terhadap pemerintah, dan tidak berpartai. Ada yang terkendala biaya, seperti dikeluhkan banyak wartawan di seluruh Indonesia, dan itu diakui Dewan Pers. Ada juga yang memang menolak UKW, seperti sikap saya bertahun-tahun silam.

Lewat esai ini saya mengimbau teman-teman seprofesi: ikutilah UKW meskipun terpaksa. Itu demi kebaikan kita bersama: supaya karya jurnalistik kita, karya intelektual kita, tidak dikriminalisasi dengan hukum pidana.

Nantinya, setelah meraih sertifikat dan kartu kompetensi, berusahalah jangan sampai Dewan Pers menariknya kembali. (Omong-omong, ada selentingan: pemerintah akan diminta menganggarkan dana tunjangan profesi bagi wartawan besertifikasi di seluruh Indonesia. Seperti profesi guru, yang menerima tunjangan sertifikasi, wartawan juga bekerja demi mencerdaskan bangsa.) Pernah terjadi seorang pegawai negeri dan seorang petugas satpam memiliki kartu kompetensi wartawan, tetapi kemudian Dewan Pers mencabutnya setelah mendapat laporan dari masyarakat.

Seturut peraturan Dewan Pers, sertifikat dan kartu kompetensi akan dicabut kalau pemiliknya sudah tidak bekerja lagi sebagai wartawan, atau terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik jurnalistik. Pencabutan bersifat terbuka, tidak dirahasiakan, dan si wartawan tidak boleh lagi mengikuti UKW seumur hidup jika pelanggarannya tergolong berat.

Yang dimaksud pelanggaran berat ialah “melakukan plagiat, membuat berita dusta atau bohong, menerima suap atau menyalahgunakan profesi wartawan, atau melanggar hak tolak/ingkar dan off the record.”

Siapa pun, termasuk aparatur pemerintah dan rakyat biasa, boleh menyampaikan usulan pencabutan sertifikat dan kartu wartawan tersebut secara tertulis kepada Ketua Dewan Pers dengan alamat Gedung Dewan Pers Lantai 7–8, Jalan Kebon Sirih 32–34, Jakarta.

Akhirulkalam, bagi sejawat pemilik kartu kompetensi, marilah kita menjaga muruah selaku wartawan sadik yang bekerja demi kebenaran jurnalistik dan kepentingan publik. —j

Esai ini saya tulis tahun 2019 dalam blogku di Blogger, yang kini sudah kuhapus.

--

--

Jarar Siahaan

Jarar F. Siahaan wartawan independen sejak 1994. “Mereka tertawa karena aku berbeda. Aku tertawa karena mereka semua sama saja.” x.com/jararsiahaan