LOGIKA * LITERASI
Baca, tonton, dengarkan, tapi jangan percaya
Di media sosial, penjahat kelamin pandai melucu; tukang selingkuh rajin berswafoto dengan istrinya; penipu suka memosting firman Tuhan; pejabat korup berbicara soal pemberantasan korupsi; dan artis pun berdusta. Konten medsos bukan cerminan kenyataan.
Sedari dulu aku tidak pernah percaya kepada siapa pun yang mengunggah konten (informasi) di media sosial, kecuali kontennya sudah kuverifikasi kebenarannya, atau orangnya sudah lama kukenal secara langsung sebagai orang jujur. Kebiasaanku ini dipengaruhi salah satu prinsip kerja jurnalisme, yaitu skeptisisme.
Teman sejawatku wartawan Hayun Gultom bercerita kepadaku bertahun-tahun silam tentang seorang suami yang menulis posting Facebook ketika lagi indehoi dengan perempuan lain di kelab malam. “Jijik kali aku baca statusnya,” kata Hayun.
Malam itu si suami memosting kata-kata elok lagi mesra bahwa dia sangat mencintai istrinya, yang tinggal di kota lain. Dia juga menyisipkan doa kiranya si istri sehat walafiat.
“Papa rindu sama Mama. Papa tidak sabar ingin pulang, tapi Papa masih kerja cari nafkah buat Mama dan anak-anak di rumah,” begitu kira-kira ditulisnya, yang dibarengi emotikon “love” dan “kiss”.
“Kurasa kawan-kawan istrinya di FB pada muji-mujilah, ya, ‘Lakimu suami idaman,’” kataku kepada Hayun.
“Ha-ha-ha, padahal dia bikin status itu ketika lagi pegang-pegangan dengan cewek pramuria,” kata Hayun, yang pada malam itu ketemu si Papa di satu kelab malam, tempat minum bir dan berajojing di bawah lampu temaram.
“Kebetulan kubuka FB-ku, lalu kulihat statusnya. Jijik kali aku,” katanya. “Aku pun pernah main perempuan, tapi enggak munafik kayak dia, bawa-bawa nama Tuhan.”
Jadi, si suami itu bermulut manis di media sosial untuk menyembunyikan kebusukan yang dia perbuat dalam kehidupan nyata.
Ada lagi kasus lain tentang oknum aparatur berumur sekitar 50 dan sudah punya istri. Di medsosnya dia mencitrakan diri sebagai pria yang santai, cool, humoristis; dia taksuka membahas masalah pemerintahan atau kepentingan umum, padahal dia pejabat publik. (Beberapa tahun silam, ketika dia bertugas di kehumasan pemerintah, sejumlah wartawan dan aktivis mengkritik dia karena “kerjanya cuma main FB.”)
Kebanyakan postingnya di medsos berupa tulisan lucu dalam tiga–empat kalimat pendek yang disertai foto dirinya sendiri sedang “berakting”, seperti saat menawar barang dari pedagang atau lagi makan di warung. Dia juga kerap mengunggah swafoto dengan istrinya, yang diberi teks jenaka pula.
Kalau ada cewek lugu yang rajin membaca status si amtenar ini, kemungkinan besar si cewek akan suka atau kagum kepadanya karena, pikirnya, “orangnya humoris, baik, penyayang istri.”
Padahal, kenyataannya? Dia suami gatal, tukang selingkuh, bukan penyayang istri. Dia penjahat kelamin, bukan orang baik.
Dia suka merayu cewek secara japri lewat ponsel. Dia menggombal dan menggauli janda muda tanpa harus mengeluarkan duit seperti membayar pelacur, kemudian meninggalkannya setelah puas.
Tahun lalu, setelah tiga bulan dia menjadi pejabat teras di satu jawatan, otak cabulnya kembali kumat. Dia melecehkan seorang gadis pegawai honorer yang bekerja pada sif malam di kantor jawatan itu.
Tiga malam dia mendatangi si korban, yang selama beberapa tahun memang bertugas seorang diri pada malam hari di kantor dan tidak pernah diganggu atau didatang-datangi oleh siapa pun.
Malam pertama, si hidung belang itu datang ke ruang kerja korban dan meminta korban melalaikan tugasnya berjam-jam. “Sinilah duduk ngobrol-ngobrol,” katanya. Dia pun merayu korban, “Cantik kali kau…,” dan bertanya soal urusan personal korban, seperti perihal pacaran dan pernikahan yang batal. Lantas dia menggenggam tangan korban dengan dalih “saya juga orang psikologi.” Dia terus-menerus mengajak korban mengobrol hingga korban pulang pukul 10.00 malam.
Malam kedua, dia kembali mendatangi korban. Dia mengambil kursi dan menaruhnya persis di pintu ruang kerja korban. Dia duduk di sana sekitar satu jam sembari memegang ponsel dan melihati korban, yang bekerja di depan laptop. Dia melakukan itu sebagai sugesti agar korban secara mental merasa “terkunci dan takbisa berkutik”. Sementara itu, dia menyuruh orang lain membeli makanan dan minuman, lalu mereka makan bersama di ruang kerja si korban. Setelah tinggal berduaan, dia kembali meminta korban melalaikan tugas, mengajaknya mengobrol berjam-jam, dan secara manipulatif berusaha memikat korban. Dia pun memaksa korban naik ke mobilnya dan mengantarnya pulang, padahal jarak ke rumah korban hanya 300 meter dari kantor.
Malam ketiga, setelah si otak cabul itu yakin bahwa mental korban lemah karena tidak berani menentangnya selama dua malam sebelumnya, dia pun nekat melecehkan korban. Tiba-tiba dia masuk ke ruang kerja korban dan langsung memeluk korban, yang lagi duduk bekerja. Korban mengelak, tapi si pria mesum mencoba memeluk kembali. Korban makin ketakutan dan segera keluar dari ruangan. Kemudian dia menelepon dan menceritakan pelecehan seksual itu kepada atasan langsungnya, orang tuanya, dan aku.
Mulai besok harinya, korban berhenti kerja di instansi itu. Dia juga menghapus semua akun media sosialnya dan tidak mau lagi bermedsos.
Menurut korban, dia menyadari ada yang takbenar ketika pelaku datang malam-malam dan mengajaknya mengobrol sekitar empat jam, karena hal seperti itu tidak pernah dilakukan pejabat-pejabat lain di kantornya. Tapi sebagai pegawai rendahan yang cuma berstatus honorer, korban tidak berani menolak ketika diajak atasannya itu mengobrol dan disuruh masuk ke mobil untuk diantar pulang (dalam dunia advokasi korban kekerasan seksual, ini disebut “relasi kuasa”).
Jadi, begitulah, status humor yang sering diposting si pejabat yang sudah beristri itu ternyata hanya muslihat psikologis untuk pencitraan “saya pria yang menyenangkan dan humoris, jangan takut.” Padahal, dia penjahat kelamin.
Masih banyak lagi kasus kejahatan yang dilakukan pengguna media sosial. Silakan kaupantau beritanya lewat mesin pencari Google News.
Contohnya, seorang pria di Tangerang menipu sejumlah janda muda lewat medsos sehingga para korban kehilangan motor dan ponsel. Remaja putri diperkosa oleh kenalan barunya di Facebook (kasus semacam ini terjadi di banyak daerah di Indonesia); dan pernah kubaca salah satu kasus bahwa korban teperdaya lantaran si pelaku kerap memosting ayat kitab suci di medsosnya.
Tapi sebenarnya bukan cuma rakyat biasa Indonesia yang berbohong di media sosial. Figur publik kelas dunia pun pernah berdusta dalam postingnya di Instagram, Twitter, dsb. Salah tiganya Kim Kardashian, Justin Bieber, dan Oprah Winfrey.
Tentu saja, yang paling terkenal sebagai pembohong kakap alias “Pinokio abad digital” ialah Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat. Menurut verifikasi data yang dikerjakan koran The Washington Post, selama empat tahun masa jabatannya, Trump berdusta 30.573 kali, baik dalam pidato resmi, wawancara pers, maupun twit-twitnya di Twitter. Boleh jadi itu termasuk capaian rekor antargalaksi yang takkan bisa dikalahkan bahkan oleh setan Lucifer.
Media sosial bukan cerminan kenyataan
Dari pelbagai contoh kasus di atas jelas terlihat bahwa media sosial tidak mencerminkan kenyataan. (Ke)banyak(an) konten yang kita baca, tonton, atau kita dengar bukanlah kebenaran, dan bukan pula fakta yang utuh.
Berikut satu contoh sepele agar kau lebih paham maksudku.
Katakanlah satu video berdurasi sekian detik diunggah ke TikTok. Dalam video itu seorang anak kecil terlihat senang memegang mainan baru, dan terdengar suara ibunya, yang merekam video, berkata, “Baru beli mainan mahal untuk anak tersayang. Yang penting dia senang. Uang belanja pun terpaksa diirit tadi di pasar.”
Yang kita lihat dan dengar dalam video tersebut hanyalah secuil momentum realitas, yang belum tentu menjadi cerminan kebenaran yang lengkap. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi sebelum dan setelah perekaman video. Boleh jadi si anak sudah lebih dulu dimarahi atau dipukul ibunya lantaran merengek-rengek agar dibelikan mainan.
Maka itu, aku lebih sering “berpikir negatif”, berpikir panjang, ketika melihat konten informatif di medsos. Kalau konten itu penting bagiku, contohnya untuk keperluan kerja jurnalistik, aku akan melakukan verifikasi, mengecek kebenarannya dengan menghubungi si pembuat konten dan pihak-pihak lain yang terkait dengan konten.
“Tapi,” barangkali kau berpikir, “enggak mungkin semua netizen punya waktu atau kemampuan memverifikasi tiap-tiap posting yang dia baca atau tonton di medsos.”
Pendapatmu itu benar, maka ada jalan yang bisa kaulakukan: kurangi jumlah akun yang kauikuti di YouTube, Facebook, Instagram, dsb. Berhenti mengikuti akun yang kontennya takbermutu, takpenting, isinya “itu-itu saja,” tidak mengandung info yang mengembangkan cakrawala berpikirmu.
(Dari dulu aku tidak pernah mengikuti satu akun pun, termasuk akun media atau pejabat negara, di YouTube, Twitter, dsb. Jika aku perlu suatu informasi atau hiburan, aku mengetikkan kata kunci terkait di kotak pencarian medsos atau Google. Aku juga tidak mau menyimpulkan suatu konten benar/salah hanya karena ribuan orang berkomentar setuju/tidak setuju.)
Kalau kau mau, silakan tiru prinsipku dalam bermedia sosial: “Konten apa pun* yang dibuat oleh siapa pun kuanggap takbenar sebelum kemudian terbukti benar,” dan “siapa pun di internet adalah orang yang takbaik dan takjujur kecuali kemudian terbukti sebaliknya.” (Konten yang kumaksud ialah konten yang sifatnya informatif, seperti berita pers dan kisah pengalaman pribadi netizen.)
Prinsipku itu berlebihan? Tidak, dan kau bisa membuktikannya.
Coba kauingat-ingat kejadian dalam kehidupanmu sendiri. Siapa saja temanmu di kampus atau kantor, atau bahkan kerabatmu, yang selama ini kaupercaya, tapi pada suatu waktu ternyata dia berbohong atau berbuat takbaik terhadapmu. Nah, kalau temanmu atau keluargamu sendiri pun tidak selalu jujur dan baik, bagaimana pula jutaan manusia di medsos yang tidak pernah kaukenal secara langsung?
Makanya, kita mesti terus waspada, dan jangan pernah memastikan seseorang akan bersikap baik selamanya. Boleh jadi dia sengaja berkata jujur hari ini agar kau tidak curiga ketika besok hari dia berdusta. Bisa saja dia berpura-pura baik hari ini karena dia menginginkan sesuatu dari kau di kemudian hari.
Ingatlah: kebanyakan orang mengutamakan keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri, karena watak bawaan “manusia adalah serigala bagi manusia lain” (homo homini lupus).
Jadi, sekali lagi, agar tidak terkecoh dengan konten yang diunggah “orang baik”, termasuk politikus dan abdi negara, di media sosial, kau harus paham cara berpikir kritis dengan logis dan skeptis. Selain itu, jangan mudah baper, terbawa perasaan, karena “Untuk mengatasi bajingan, kuasai perasaanmu. Bila perasaanmu seimbang, penjahat takbisa menyentuhmu,” (buku filosofi Kembali ke Asal). —j
“Kejujuran adalah anugerah yang sangat mahal. Jangan mengharapkannya dari orang yang murahan.” ―Warren Edward Buffett (93), investor, dermawan, orang terkaya ke-9 di dunia